ANALISIS PERBEDAAN
GENDER TERHADAP PRILAKU ETIS DAN PROFESIONALISME KERJA
Disusun
Oleh :
Nama: Hanifah Febrilla
Kelas: 3EA27
Kelas: 3EA27
FAKULTAS
EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena perbedaan gender telah mempengaruhi jenis
pekerjaan atau karir yang harus diambil oleh seseorang. Stereotype masyarakat
seringkali telah menilai terhadap jenis kelamin seseorang. Masyarakat
menghendaki agar jenis tugas atau pekerjaan tertentu dilakukan oleh jenis
kelamin tertentu pula. Memang baik diakui atau tidak, jenis kelamin
kadang-kadang menentukan seseorang dalam memilih karir pekerjaan. Seorang
perempuan mungkin akan mengambil karir yang kiranya dapat dijalaninya, tanpa
banyak hambatan dengan peran jenis gendernya nanti di kemudian hari, misalnya
sekretaris, dokter anak, psikolog anak, guru atau dosen, penunggu atau penjaga
toko dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya seorang laki-laki akan memilih
sesuai dengan dirinya misalnya tentara, polisi, hakim, jaksa dan lain
sebagainya.
Seiring berkembangnya zaman membuat para wanita merasa
mempunyai hak untuk membentuk karir mereka sendiri selain tugas wajib mereka
sebagai ibu rumah tangga. Banyak forum – forum diskusi yang dibuka untuk para
wanita dalam membicarakan masa depan karir mereka dan para wanita saat ini pun
sudah mulai terbuka wawasannya untuk tidak hanya bekerja berdasarkan gender
saja tetapi, mereka sudah mulai mencoba untuk bekerja dibidang yang dimana
kebanyakan yang melakukan adalah kaum pria. Menurut Irianto (2001 : 94), pengertian karir meliputi
elemen-elemen obyektif dan subyektif. Elemen obyektif berkenaan dengan
kebijakan-kebijakan pekerjaan atau posisi jabatan yang ditentukan organisasi,
sedangkan elemen subyektif menunjuk pada kemampuan seseorang dalam mengelola
karir dengan mengubah lingkungan obyektif (misalnya dengan mengubah
pekerjaan/jabatan) atau memodifikasi persepsi subyektif tentang suatu situasi
(misalnya dengan mengubah harapan).
Salah
satu permasalahan yang sering terjadi adalah apakah gender mempengaruhi
sensitivitas etis setiap
individu.
Mutmainah (2007) menyatakan bahwa wanita lebih sensitif dalam hal etika ketika
mengungkapkan suatu kejadian
etis atau tidak etis, serta memiliki latar belakang dan pengembangan moral yang
lebih baik jika dibandingkan
dengan
pria. Seringkali wanita tidak
menginginkan penyajian informasi
yang salah tentang laporan keuangan
suatu
perusahaan dan mereka
mampu membuat perubahan struktural
dalam organisasi saat dirinya memiliki kekuasaan di bidang perekonomian.
Hal ini didukung dengan hasil
penelitian
Mutmainah (2007) yang menyimpulkan bahwaterdapat perbedaan orientasi etis
diantara pria dan wanita.
Cohen
et al. (1998) dalam Mutmainah (2007) juga memperkuat pernyataan
jika wanita lebih memiliki
sensitivitas
etis dibandingkan pria di dalam situasi dilema etis. Hasil penelitian
ini tidak sesuai dengan penelitian
Comunale
et al. (2006) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara
variabel gender dan pertimbangan
etika individu.
Tingkat
profesionalisme yang tinggi
juga dituntut harus
ada dalam diri seorang auditor untuk membangun kepercayaan publik,
serta meyakinkan semua pihak terhadap kualitas jasa yang diberikan. Auditor
yang profesional tidak hanya
ahli, tetapi juga berhati-hati dalam melakukan profesinya (Ikhsan,
2007). Banyak isu yang mempertanyakan
tentang keprofesionalismean seorang
auditor
karena kinerja mereka dalam memeriksa laporan keuangan yang buruk
sehingga banyak mengandung
kesalahan,
baik disengaja
maupun tidak disengaja. Tindakan
ini
mengakibatkan kewajaran atas laporan keuangan menjadi diragukan oleh
para pemakai laporan keuangan
(Herawaty
dan Susanto, 2009). Abdurrahim (1998) dan Santosa (2001) dalam Ikhsan (2007)
menyatakan bahwa terdapat perbedaan sikap antara
pria dan wanita dalam merespon
motivasi dan segala perubahan yang
terjadi
di lingkungan
kerjanya. Hal ini dikarenakan adanya peran domestik di keluarga
dan diskriminasi yang dihadapi oleh
wanita
dalam segala aspek sehingga mempengaruhi sikap profesionalisme mereka.
Ikhsan (2007) sendiri menyatakan
bahwa
tidak ada perbedaan tingkat
profesionalisme
auditor jika
dilihat dari perbedaan gender. Adanya ketidakkonsistenan kinerja akuntan publik
berdasarkan isu gender,
baik dalam perilaku etis, orientasi etis maupun tingkat profesionalisme
seorang auditor, maka penulis
tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut dengan
penelitian
yang berjudul
“Analisis Perbedaan Gender terhadap Perilaku Etis,
Hal umum yang telah diterima secara luas adalah
bahwa pria dan wanita semenjak lahir telah diperlakukan dengan cara yang
berbeda. Riset yang dilakukan Ragins, Townsend, dan Mathis (1998) telah membuktikan
bahwa pria dan wanita sama dalam kemampuan belajar, memori, kemampuan
penalaran, kreativitas dan intelijen. Namun, beberapa orang masih percaya bahwa
kreativitas, penalaran, dan kemampuan belajar antara pria dan wanita itu
berbeda. Ada banyak sekali perdebatan mengenai perbedaan pria dan wanita dalam
hal kinerja pekerjaan, absensi, dan tingkat perpindahan. Adapun debat mengenai
kinerja pekerjaan bersifat inconclusive. Belum ada data meyakinkan yang
menunjukkan bahwa pria lebih baik kinerjanya daripada wanita, ataupun
sebaliknya. Satu-satunya area di mana ditemukan perbedaan yang agak konsisten
antara pria dan wanita adalah mengenai absensi. Wanita memiliki tingkat absensi
yang lebih tinggi karena biasanya ia menjaga dan mengurusi anak-anak, orang tua
yang renta, dan pasangannya yang sakit, sehingga membuatnya absen dari pekerjaan
(Farrell dan Stamm, 1983). Sulit untuk mengukur apakah perubahan-perubahan
dalam masyarakat akan dapat menyebabkan pria dan wanita menjadi lebih serupa.
Ketika masyarakat menekankan perbedaan gender dan memperlakukan pria dan wanita
dengan cara yang berbeda, akan ada beberapa perbedaan dalam hal tersebut
sebagai keagresifan dan perilaku sosial. Namun, ketika masyarakat lebih
menekankan pada kesamaan kesempatan dan perlakuan, banyak perbedaan-perbedaan
gender yang hilang seketika (Elvira dan Cohen, 2001).
Perbedaan gender juga sangat berpengaruh pada prilaku
etis dan profesionalisme seseorang dalam bekerja pada suatu perusahaan. Istilah profesional
itu berlaku untuk semua aparat mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah.
Profesionalisme dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan
seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing.
Profesionalisme menyangkut kecocokan ( fitness), antara kemampuan
yang dimiliki oleh birokrasi (bereaucratic – competence ) dengan
kebutuhan tugas ( task – reguerement ), terpenuhi kecocokan antara kemampuan
dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional.
Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin
dicapai oleh sebuah organisasi ( Kurniawan, 2005: 74 ). Menurut Imawan ( 1997 :
77 ) profesionalisme menunjukkan hasil kerja yang sesuai dengan standar teknis
atau etika sebuah profesi. Aktivitas kerja itu lazim berhubungan dengan
penghasilan dalam bentuk uang.
Untuk menciptakan
kadar profesionalitas dalam melaksanakan misi institusi persyaratan dasarnya
adalah tersedianya sumber daya manusia yang andal, pekerjaan yang terprogram
dengan baik, dan waktu yang tersedia untuk melaksanakan program tersebut serta
adanya dukungan dana yang memadai dan fasilitas yang memadai dan fasilitas yang
mendukung. Profesionalisme pegawai sangat ditentukan oleh
tingkat kemampuan pegawai yang tercermin melalui perilakunya sehari – hari
dalam organisasi. Tingkat kemampuan pegawai yang tinggi akan lebih cepat
mengarah kepada pencapaian tujuan organisasi yang telah direncanakan
sebelumnya, sebaliknya apabila tingkat kemampuan pegawai rendah kecenderungan
tujuan organisasi yang akan dicapai akan lambat bahkan menyimpang dari rencana
semula. Istilah kemampuan menunjukkan potensi untuk melaksanakan tugas yang
mungkin dan tidak mungkin dilakukan. Kalau disebut potensi, maka kemampuan
disini baru merupakan kekuatan yang ada di dalam diri seseorang. Dan istilah
kemampuan dapat juga dipergunakan untuk menunjukkan apa yang akan dapat
dikerjakan oleh seseorang, bukan apa yang telah dikerjakan oleh seseorang.
Bersikap etis atau
tidak seseorang di tempat kerja biasanya bukanlah hasil dari apa pun. Sebagai
contoh, hal ini bukan saja kecenderungan etis para karyawan, karena bahkan
karyawan yang etis pun dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor organisasional.
Jadi tugas pertama manajer adalah memahami apa yang membentuk perilaku etis,
dan kemudian mengambil langkah-langkah nyata untuk memastikan bahwa para
karyawan membuat pilihan-pilihan yang etis. Sensitivitas
etis menjadi salah satu syarat bagi seorang auditor untuk mengenali suatu isu
etis. Banyaknya penelitian yang berfokus pada sensitivitas etika telah
menumbuhkan gagasan bahwa proses sensitivitas etika seseorang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan etis. Hebert et al. (1990) dalam
Januarti (2011) menyatakan bahwa sensitivitas etis adalah kemampuan seseorang
untuk mengetahui adanya permasalahan etis yang terjadi di lingkungan kerjanya.
Harsanti et al. (2002) dalam Crismastuti et al. (2004) menyatakan
bahwa kemampuan seorang profesional untuk mengerti dan sensitif terhadap
masalah-masalah etika dalam profesinya dipengaruhi oleh lingkungan budaya
tempat profesi tersebut, lingkungan profesi, lingkungan organisasi dan
pengalaman pribadi. Selain itu, faktor-faktor individual yang menjadi ciri
pembawaan sejak lahir juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan etis,
seperti gender, umur, kebangsaan dan lain-lain. Khomsiyah dan Indriantoro
(1998) dalam Januarti (2011) juga menyatakan bahwa orientasi etis berpengaruh
signifikan terhadap sensitivitas. Comunale et al. (2006) menambahkan
bahwa orientasi etis dapat mempengaruhi reaksi yang timbul terhadap suatu
kejadian atau masalah.
Etika
profesional bagi praktik auditor Indonesia dikeluarkan oleh Institut Akuntan
Publik Indonesia atau IAPI. Kode etik akuntan publik yang dibuat oleh IAPI
menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh
setiap individu dalam KAP. Salah satu hal yang membedakan profesi akuntan
publik dengan profesi lain adalah tanggung jawabnya untuk melindungi
kepentingan publik, sehingga seorang akuntan publik harus mematuhi dan
menerapkan seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam
kode etik saat bertindak. Prinsip dasar etika profesi yang harus dipatuhi oleh
akuntan publik, yaitu prinsip integritas, objektivitas, prinsip kompetensi,
sikap kecermatan dan kehati hatian profesional, serta prinsip kerahasiaan dan
perilaku professional. . Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bermaksud
untuk membahas tentang “Analisis Perbedaan
Gender Terhadap Prilaku Etis dan Profesionalisme Kerja”
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana analisis perbedaan gender terhadap prilaku
etis?
2. Bagaimana analisis perbedaan gender terhadap
profesionalisme kerja?
1.3 Tujuan
Masalah
Penulisan ini
bertujuan untuk mengetahui :
1. Untuk mengetahui perbedaan gender terhadap
prilaku etis pada kinerja karyawan
2.
Untuk mengetahui perbedaan gender terhadap
profesionalisme kerja
BAB II
TELAAH LITELATUR
2.1
Pengertian Perbedaan
Gender
Istilah
gender menurut Umar (1993) dalam Hastuti (2007) adalah suatu konsep kultural
yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas
dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang
mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam
mengelola, mencatat dan mengkomunikasikan hal atau informasi untuk menjadi
suatu hasil. Gill Palmer dan Tamilselvi Kandasami (1997) dalam Trisnaningsih
(2004) mengklasifikasikan gender dalam dua stereotipe, yaitu sex role
stereotype dan managerial stereotype.
Pandangan
sex role stereotype menyatakan bahwa pria lebih berorientasi pada
pekerjaan, objektif, independen, agresif dan lebih bertanggung jawab dalam hal
manajerial. Wanita dipandang lebih pasif, lembut, berorientasi pada
pertimbangan, lebih sensitif dan rendah posisinya pada pertanggungjawaban dalam
organisasi. Managerial stereotype mengartikan pria sebagai orang
yang lebih memiliki sikap, perilaku dan temperamen dibandingkan wanita.
Pernyataan ini menimbulkan keyakinan bahwa wanita lebih memiliki sensitivitas
etis dibandingkan pria di dalam situasi dilema etis (Cohen et al., 1998
dalam Mutmainah, 2007).
Pria
dan wanita juga menunjukkan perbedaan dalam berperilaku dan bertindak yang
didasarkan pada sifat yang dimiliki dan kodrat yang diberikan secara biologis
(Nugrahaningsih, 2005). Nugrahaningsih (2005) menyimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan perilaku etis antara auditor pria dan wanita. Hal ini tidak didukung
oleh Reiss dan Mitra (1998) dalam Nugrahaningsih (2005) yang menyatakan bahwa
wanita lebih etis dibandingkan dengan pria. Hastuti (2007) juga sependapat
dengan Reiss dan Mitra, dimana hasil penelitiannya menunjukkan terdapat perbedaan
perilaku etis antara mahasiswa pria dan wanita. Hal yang sama juga dinyatakan
oleh Ameen et al. (1996) yang mengindikasikan adanya pengaruh perbedaan
gender terhadap perilaku etis seorang auditor.
Berikut adalah aspek-aspek yang
menjelaskan perbedaan dari seorang pria maupun wanita yang dapat menjadi aspek pertimbangan
dalam penempatan dan penanganan kerja mereka di lapangan:
1. Pola pikir
Adanya perbedaan dari pola pikir seorang
pria yang cenderung berpaku pada fakta, sementara pola pikir wanita yang
cenderung mengacu pada konsep dan sesuatu yang saling berhubungan. Hal ini
mampu menyebabkan bahwa pola pikir dari seorang wanita cenderung lebih luas
daripada seorang pria yang straight to the point.
2. Memerintah (giving order)
Pria cenderung lebih tegas dalam
memberikan sebuah perintah (order) disebabkan oleh sifat seorang pria pada
umumnya yang tidak suka bertele-tele, sedangkan wanita akan lebih mengutarakan
perintah mereka dengan kata-kata yang lebih halus dan lebih mudah diterima.
Inilah salah satu aspek bahwa dapat anda temui dalam beberapa perusahaan cenderung
lebih memilih seorang wanita dalam mengatasi masalah komunikasi dengan pegawai
mereka.
3. Pemilahan
Pria cenderung lebih dapat memilah-milah
semua hal yang mereka temui, sebagai contoh masalah perselisihan dan masalah
pekerjaan akan mendapatkan porsi mereka tersendiri, sehingga seorang pria dalam
suatu lingkungan kerja cenderung lebih fleksibel, sementara wanita pada umumnya
memiliki faktor konektivitas dari pola pikir mereka sehingga mengakibatkan
setiap masalah yang mereka temui akan membawa hubungan satu sama lain, sebagai
contoh dikarenakan adanya perselisihan dalam suatu pekerjaan dengan rekan kerja
dapat mengakibatkan seorang wanita menjadi enggan untuk bekerja di lingkungan
tersebut.
4. Problem Solving
Pola pikir seorang pria yang cenderung
untuk segera menyelesaikan masalah yang mereka hadapi daripada membicarakannya
sangatlah berbeda terbalik dengan wanita yang cenderung lebih suka untuk
membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi. Hal ini juga berpengaruh pada
pendekatan yang dapat dilakukan oleh seorang pemilik dalam melakukan pendekatan
terhadap karyawan / pegawai mereka berdasarkan gender.
5. Tujuan
Pria cenderung untuk lebih menyukai
hasil dan cara mereka dalam pencapaian hasil kerja mereka, sedangkan wanita
cenderung untuk lebih menyukai tidak hanya pencapaian hasil kerja mereka namun
juga penilaian dari orang lain akan proses dan hasil yang mereka capai.
6. Komentar
Pria dalam memberikan komentar akan
cenderung lebih straight to the point, apa adanya dan realistis pada fakta
yang terjadi, sementara seorang wanita akan cenderung untuk mempertimbangkan
cara mereka dalam menyampaikan kritik dan berhati-hati untuk tidak menyingung
perasaan orang lain.
7. Bertanya
Pria
cenderung lebih tidak suka bertanya daripada wanita disebabkan oleh karena
seorang pria hanya ingin mendapatkan informasi dari setiap pertanyaan yang
dilontarkan sehingga pada saat informasi telah terkumpul maka seorang pria akan
minim bertanya, sementara seorang wanita cenderung lebih suka bertanya bahkan
di saat dia tidak memerlukan jawaban, disebabkan karena kecenderungan mereka
selain untuk mengumpulkan informasi namun juga untuk menjaga relasi atau
hubungan.
Dengan pertimbangan aspek-aspek di atas yang telah anda ketahui maka akan lebih mudah bagi anda sebagai seorang pemimpin perusahaan untuk melakukan penempatan, penanganan dan pendekatan dengan tenaga kerja anda dengan lebih tepat. Seorang wanita yang cenderung lebih komunikatif dan lebih mudah untuk melakukan hubungan ke-luar akan menjadi senjata yang cukup ampuh untuk meningkatkan hubungan eksternal dari perusahaan anda, inilah salah satu alasan mengapa seringkali anda temui seorang customer service adalah seorang wanita. Sedangkan seorang pria yang memiliki efektivitas dalam kinerja internal perusahaan akan lebih baik bagi anda untuk melakukan penempatan dan penugasan berkaitan dengan internal perusahaan yang pada umumnya membutuhkan kecepatan, dan keterampilan kerja yang tinggi yang akan cenderung lebih dapat anda temui pada diri tenaga kerja pria. Penanganan yang tepat dan penempatan posisi kerja yang tepat juga akan meningkatkan efektivitas dan produktivitas sebagai pemicu kesuksesan dari perusahaan anda sendiri. Pemahaman dari setiap instrument perusahaan merupakan suatu kewajiban utama bagi seorang pemimpin perusahaan.
Dengan pertimbangan aspek-aspek di atas yang telah anda ketahui maka akan lebih mudah bagi anda sebagai seorang pemimpin perusahaan untuk melakukan penempatan, penanganan dan pendekatan dengan tenaga kerja anda dengan lebih tepat. Seorang wanita yang cenderung lebih komunikatif dan lebih mudah untuk melakukan hubungan ke-luar akan menjadi senjata yang cukup ampuh untuk meningkatkan hubungan eksternal dari perusahaan anda, inilah salah satu alasan mengapa seringkali anda temui seorang customer service adalah seorang wanita. Sedangkan seorang pria yang memiliki efektivitas dalam kinerja internal perusahaan akan lebih baik bagi anda untuk melakukan penempatan dan penugasan berkaitan dengan internal perusahaan yang pada umumnya membutuhkan kecepatan, dan keterampilan kerja yang tinggi yang akan cenderung lebih dapat anda temui pada diri tenaga kerja pria. Penanganan yang tepat dan penempatan posisi kerja yang tepat juga akan meningkatkan efektivitas dan produktivitas sebagai pemicu kesuksesan dari perusahaan anda sendiri. Pemahaman dari setiap instrument perusahaan merupakan suatu kewajiban utama bagi seorang pemimpin perusahaan.
2.2
Prilaku Etis
Etika adalah keyakinan atau tindakan
mengenai benar dan salah serta tindakan baik dan buruk yang mempengaruhi
hal-hal lain atau pihak lain. Etika diukur didasarkan pada budaya setempat,
agama, pendidikan, jenis kelamin, usia, dan lainnya. Perilaku dalam beretika, dalam kehidupan sehari-hari
kita dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu perilaku etis yaitu perilaku yang
diharapkan oleh masyarakat dan perilaku yang tidak etis yaitu perilaku yang
tidak disukai oleh orang lain.
Perilaku Etis adalah perilaku yang
sesuai dengan norma-norma sosial, agama dan lainya yang diterima secara umum
sehubungan dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat dan yang membahayakan. Contoh tindakan etis adalah menghargai orang lain,
berempati terhadap orang lain, tolong- menolong.
Perilaku
Tidak Etis
Adalah perilaku yang tidak sesuai
dengan nor-norma sosial, agama ,dan lainya yang diterima secara umum sehubungan
dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat dan yang membahahayakan. Contoh perilaku yang tidak etis adalah menyepelekan
orang lain, tidak peduli dengan orang lain, tidak mengikuti peraturan yang
berlaku, dlln.
Tanggung jawab sosial adalah termasuk kedalam perilaku yang etis dalam kehidupan sosial. Biasanya tanggung jawab sosial yang sering dilakukan seseorang adalah seperti :
Tanggung jawab sosial adalah termasuk kedalam perilaku yang etis dalam kehidupan sosial. Biasanya tanggung jawab sosial yang sering dilakukan seseorang adalah seperti :
1.
Sikap Obstruktif,
Pendekatan terhadap tanggungjawab
sosial yang melibatkan tindakan seminimal mungkin dan mungkin melibatkan
usaha-usaha menolak atau menutupi pelanggaran yang dilakukan individu.
2. Sikap
Defensif,
Pendekatan tangungjawab sosial yang
ditandai dengan personal, hanya memenuhi persyaratan aturan atau hukum secara
minimum atas komitmennya terhadap kolompok dan individu dalam lingkungan
sosialnya.
3.
Sikap Akomodatif,
Pendekatan tangungjawab sosial yang
diterapkan seseorang dengan melakukannya, apabila diminta melebihi persyaratan
aturan atau hukum minum, dalam komitmennya terhadap kelompok dan individu dalam
lingkungan sosialnya.
4. Sikap Proaktif,
Pendekatan Tanggungjawab sosial yang diterapkan
seseorang, dengan secara aktif mencari peluang untuk menyumbangkan demi
kesejahteraan kelompok atau individu dalam lingkungan sosialnya.
2.3 Profesionalisme kerja
Profesionalisme berasal dan kata
profesional yang mempunyai makna yaitu berhubungan dengan profesi dan
memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994).
Merupakan suatu tingkah laku, suatu
tujuan atau suatu rangkaian kwalitas yang menandai atau melukiskan coraknya
suatu “Profesi”. Profesionalisme kerja mengandung pula pengertian menjalankan
suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber kehidupan. Dan juga sering
disebut sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain
lain) atau tingkah laku, kepakaran dan kualiti dari seseorang yang
professional.
Sedangkan
menurut Drs.Kuntjojo Profesionalisme kerja adalah komitmen para professional
terhadap profesinya. Komitmen tersebut ditunjukan dengan kebanggaan dirinya
sebagai tenaga professional, usaha terus-menerus untuk mengembangkan kemampuan
profesinya.
Tiga
watak kerja seorang Profesional:
1. Kerja
seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya
kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan
atau mengharapkan imbalan upah materiil.
2. Kerja
seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas
tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang,
ekslusif dan berat.
3. Kerja
seorang professional diukur dengan kualitas teknis dan kualitas
moral harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol
berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah
organisasi profesi
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perbedaan Gender
Terhadap Prilaku Etis dan Profesionalisme Kerja
Kesadaran akan pentingnya sumber daya
manusia dapat mendorong perusahaan untuk menanamkan norma,
perilaku, nilai-nilai dan keyakinan yang dapat dijadikan
sarana untuk mencapai kepuasan kerja. Kepuasan kerja berhubungan dengan
atribut pekerjaan yang dijalani oleh suatu profesi. Atribut pekerjaan merupakan
suatu proses kegiatan yang dapat menimbulkan kepuasan kerja bagi karyawan.
Profesi akuntansi sebagai salah satu bentuk pekerjaan yang juga memperhatikan
unsur kepuasan kerja secara profesional atas pekerjaan yang mereka lakukan.
Persepsian tentang atribut kerja dapat dipengaruhi oleh usia dan gender, seperti
fenomena yang dikemukakan oleh beberapa penelitian yang mengatakan bahwa
terjadinya perbedaan pengakuan tentang harapan dan konsep antar gender (Brush
et al., 1987; Witt and Nye, 1992).
Perubahan lingkungan
kerja dan konsep tentang gender itu sendiri mendorong dan menyebabkan terjadinya
perubahan perhatian pada dunia kerja. Fakih (1996: 8) menyatakan bahwa gender merupakan
suatu sifat yang melekat pada
kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Gender merujuk pada
pembedaan-pembedaan dan relasi-relasi sosial antara anak perempuan dan anak
laki-laki, perempuan dan laki-laki dewasa yang dipelajari dan sangat bervariasi di
dalam dan antar budaya, serta berubah dari waktu ke waktu (Haspels dan
Suriyasarn, 2005). Ketidakadilan
kesetaraan gender dalam masyarakat dapat dilihat dari sejumlah indikator
yakni: marginalisasi perempuan; subordinasi; pandangan stereotipe; kekerasan (violence)
dan beban kerja ganda (Subiyantoro, 2005). Kesenjangan di bidang ini terlihat
dari tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja masih jauh lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Data BPS tentang
Statistik Kesejahteraan Rakyat
1999-2002
menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) masih jauh lebih rendah
dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%. Sedangkan
ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12%
berbanding 44,81%. (Subiyantoro, 2005).
Penelitian yang mengkaji tentang gender
dan atribut pekerjaan dalam
profesi
akuntansi telah
banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Wright dan Hamilton (1978)
menyatakan bahwa atribut pekerjaan terkait dengan usia. Karyawan yang berusia muda
mempunyai peluang lebih besar untuk memperoleh promosi atau mengembangkan dirinya
daripada karyawan yang sudah tua dalam organisasi. Beutel dan Marini (1995) menunjukkan
pentingnya pemilihan karyawan
yang disesuaikan dengan
karakteristik pekerjaan berdasarkan gender. Secara umum karyawan akan memperhatikan faktor
gaji dan kesempatan untuk mengembangkan diri dalam perusahaan, namun
karyawan perempuan lebih senang apabila mendapat penghargaan pada
dirinya, mencapai kepuasan kerja dan dapat menjaga hubungan yang baik dengan teman
kerja (Beutel dan Marini, 1995). Perbedaan ini membuat karyawan perempuan
memiliki motivasi untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi.
Kondisi seperti inilah yang menjadi
perhatian banyak perusahaan akhirakhir ini bahkan perhatian banyak perusahaan saat
ini sampai pada pemberian
kompensasi
atau pesangon bagi karyawan.
Perhatian
terhadap pemberian kompensasi
tersebut
didasarkan pada prestasi kerja yang dilakukan karyawan (Helyar,
2005). Terjadinya
diskriminasi terhadap usia karyawan menyebabkan diberlakukannya
larangan diskriminasi pada perusahaan yang memiliki tenaga kerja. Diskriminasi gender
diartikan sebagai setiap pembedaan, pengeluaran (exclusion), atau preferensi
berdasarkan pada gender, gender (atau penggolongan lain yang ada di masyarakat seperti etnis, warna,
agama, atau opini politik), yang berakibat pada peniadaan atau
pengurangan kesetaraan kesempatan dan perlakuan (Haspels dan Suriyasarn, 2005).
Selanjutnya Haspels dan Suriyasarn (2005) menyatakan bahwa ada dua jenis
diskriminasi gender yaitu diskriminasi langsung dan tidak langsung.
Diskriminasi langsung pada umumnya
disengaja dan eksplisit, atau bahkan kadang-kadang diskriminasi langsung
ditemukan secara eksplisit dalam hukum. Sebagai contoh perempuan tidak dapat secara sah
memiliki harta seperti bangunan atau tanah, perempuan yang menikah
tidak dapat
menandatangani dokumen legal, batas umur pensiun bagi laki-laki dan perempuan
berbeda, dll (Haspels dan Suriyasarn, 2005). Diskriminasi tidak
langsung merujuk pada situasi,
peraturan,
atau praktek yang kelihatannya
netral tetapi pada kenyataannya membawa akibat adanya perlakuanyang berbeda
bagi sebagian orang (Haspels dan Suriyasarn, 2005). Sebagai contohbperusahaan-perusahaan
lebih senang merekrut laki-laki dibandingkan dengan perempuan usia mengasuh
anak, sebab mereka memperhitungkan bahwa perempuan tersebut akan lebih sering
tidak masuk kerja karena kehamilan atau urusan keluarga. Diskriminasi gender
pada profesi
akuntansi di banyak perusahaan telah
banyak
diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh Hardin et al. (2002) menyatakan bahwa dengan
bertambahnya banyak karyawan perempuan yang bekerja pada perusahaan
mengakibatkan adanya diskriminasi terhadap karyawan perempuan yang menerima gaji lebih
rendah daripada karyawan laki-laki, walaupun keduanya samasama melaksanakan pekerjaan
dengan baik, memiliki ketrampilan yang sama dan mempunyai tanggung
jawab yang sama dalam pekerjaan. Diskriminasi tersebut terjadi karena
laki-laki dianggap lebih mampu untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih besar dalam perusahaan.
Diskriminasi gender tidak hanya terjadi
pada segi kemampuan saja,
melainkan
dari segi gaji
atau kesejahteraan juga terjadi diskriminasi. Haspels dan Suriyasarn (2005) menyebutkan bahwa rata-rata
perempuan berpenghasilan 2/3 dari
penghasilan
laki-laki di semua jenis pekerjaan dan perempuan masih berpenghasilan rendah dari laki-laki
di semua tingkat pendidikan.
Hanya sebagian saja dari
kesenjangan
dalam penghasilan ini yang dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam
hal tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja yang berarti bahwa diskriminasi gender dalam menerima upah
yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama masih tersebar luas.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1
Kesimpulan
Dalam
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan gender terhadap prilaku etis
dan profesionalisme kerja mempunyai keterkaitan. Penelitian ini
bertujuan untuk menguji dan menganalisis ada tidaknya perbedaan gender terhadap
perilaku etis, dan profesionalisme. Penulis menyimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan
perilaku etis antara pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa setiap pekerja harus
tetap memiliki perilaku etis yang sama dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai
dengan kode etik. Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan orientasi etis antara pria dan wanita. Hal ini dikarenakan gender dapat
mempengaruhi seorang untuk sadar dalam menentukan sikap yang tepat jika menghadapi
suatu dilema etis. Gender juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis,
baik ketika menilai tindakan yang dilakukan orang lain maupun ketika berhadapan
sendiri dengan dilema etis. Simpulan lain yang dapat ditarik dalam penelitian
ini adalah tidak terdapat perbedaan profesionalisme antara auditor pria dan
wanita. Simpulan ini menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki peluang yang
sama sebagai seorang dengan tanggung jawab dan prestasi yang juga sama. Hal ini
berarti berbagai sifat dan karakter masing– masing tidak mempengaruhi sikap professional
mereka dalam bekerja. Sikap profesional itulah yang akan membuat kinerja dapat
dipercaya oleh masyarakat. Oleh karena itu, setiap pekerja baik pria mupun
wanita, harus menunjukkan perilaku etis, dan sikap profesionalisme yang sama
dalam bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Herawati,
N., Zuhdi, R., Sari, R. S. N. (2010). Tafsir
Perilaku
Etis Menurut Mahasiswa Akuntansi Berbasis
Gender.
Simposium Nasional Akuntansi VIII, 1 – 24.
Jamilah,
S., Fanani, Zaenal dan Chandrarin, Grahita.
(2007).
Pengaruh Gender, Tekanan Ketaatan dan
Kompleksitas
Tugas terhadap Audit Judgment.
Simposium Nasional Akuntansi X,
1 – 30.
Nugrahaningsih,
Putri. (2005). Analisis Perbedaan
Perilaku
Etis Auditor di KAP dalam Etika Profesi
(Studi
terhadap Prean Faktor-faktor Individual : Locus
of
Control, Lama Pengalaman Kerja, Gender dan
Equity
Sensitivity).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar