Selasa, 30 Mei 2017

PENGARUH ETIKA BISNIS TERHADAP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DI PT.MNC KAPITAL TBK

PENGARUH ETIKA BISNIS TERHADAP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DI PT.MNC KAPITAL TBK



Disusun Oleh :
Hanifah Febrilla
3EA27
14214761


FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Etika bisnis adalah salah satu yang terpenting dalam upaya penerapan GCG tersebut. Menerapkan etika bisnis secara konsisten hingga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan merupakan salah satu sumbangsih besar yang dapat diberikan oleh dunia usaha untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan mampu memberikan manfaat yang besar bagi seluruh stakeholder-nya. Belakangan banyak muncul pertanyaan mengenai apakah etika bisnis merupakan suatu hal yang penting bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Seandainya tidak dilaksanakan, suatu entitas tetap dapat berjalan dengan baik dan mmberikan keuntungan. Jika etika bisnis yang sehat adalah yang dicapai oleh perusahaan, maka menerapkan suatu prinsip Good Corporate Governance oleh suatu perusahaan dapat sebagai salah satu satu alat untuk mencapai etika bisnis yang baik tersebut.

Pentingnya tata kelola perusahaan yang sehat untuk stabilitas pasar dan kepercayaan pasar penerapan GCG sebagai bagian dari etika bisnis ini pada gilirannya dapat mempengaruhi pasar dan menjadi bahan pertimbangan yang penting dalam proses pengambilan keputusan. Contoh, pemegang saham menanamkan modalnya untuk membiayai perusahaan, dan tentu saja mereka mengharapkan agar perusahaan dikelola dengan baik untuk memastikan bahwa investasinya aman dan dapat memberikan tingkat pengembalian yang tinggi.Perusahaan tidak dapat memberikan pengembalian terhadap investasi pemegang saham, jika produk yangdihasilkannya tidak dibeli oleh konsumen. Maka penting bagi perusahaan untuk memastikan bahwa kebutuhan konsumen dipenuhi dengan barang dan jasa yang kompetitif
Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa korporat kita belum dikelola secara benar. Dalam bahasa khusus, korporat kita belum menjalankan governansi (Moeljono). Survey dari Booz-Allen di Asia Timur pada tahun 1998 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks corporate governance paling rendah dengan skor 2,88 jauh di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72) dan Thailand (4,89). Rendahnya kualitas GCG korporasi-korporasi diIndonesia ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan tersebut.

Konsultan manajemen McKinsey & Co, melalui penelitian pada tahun yang sama, menemukan bahwa sebagian besar nilai pasar perusahaan-perusahaan Indonesia yang tercatat di pasar modal (sebelum krisis) ternyata overvalued. Dikemukakan bahwa sekitar 90% nilai pasar perusahaan publik ditentukan oleh growth expectation dan sisanya 10% baru ditentukan oleh current earning stream. Sebagai pembanding, nilai dari perusahaan publik yang sehat di negara maju ditentukan dengan komposisi 30% dari growth expectation dan 70% dari current earning stream, yang merupakan kinerja sebenarnya dari korporasi. Jadi, sebenarnya terdapat ”ketidakjujuran” dalam permainan di pasar modal yang kemungkinan dilakukan atau diatur oleh pihak yang sangat diuntungkan oleh kondisi tersebut.

Kita sering mendengar banyak perusahaan yang terpuruk karena tata pemerintahan sebuah perusahaan tersebut tidak baik sehingga banyak fraud ataupraktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi, sehingga terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, yang mengakibatkantidak ada investor yang mau membeli saham perusahaan tersebut. artinya,bisa dikatakan jika perusahaan tersebut tidak menerapkan Corporate Governance dengan baik. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara. Good Corporate Governance dimaksudkan agar tata kelola perusahaan baik sehingga bisa meminimalisir praktek-prakter kecurangan.

Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi  penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang  berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminal-yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk.

PT MNC Kapital Indonesia Tbk (Perseroan) merupakan entitas anak dari PT MNC Investama Tbk. (sebelumnya bernama PT Bhakti Investama Tbk), yang bisnis utamanya fokus pada usaha pengelolaan investasi strategis di sektor jasa keuangan. Pada awal didirikan, yaitu 15 Juli 1999, bisnis Perseroan hanya fokus pada kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek dan perantara pedagang efek. Seiring perjalanan waktu, Perseroan terus berkembang menjadi salah satu perusahaan terkemuka yang mampu menyediakan berbagai layanan di sektor jasa keuangan secara lengkap.

2.      Rumusan Masalah
2.1   Bagaimana pengaruh etika bisnis terhadap good corporate governance pada PT. MNC Kapital Tbk?
2.2   Bagaimanakah pengaruh EVA, dan MVA  pada PT. MNC Kapital Tbk?

3.      Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
3.1   untuk mengetahui peran etika bisnis terhadap Good Corporate Governance (GCG) di PT. MNC Kapital Tbk
3.2   untuk mengatahui pengaruh EVA,  dan MVA di PT. MNC Kapital Tbk

BAB II
TELAAH LITELATUR


2.1 Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).

 Etika merupakan suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran yang kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan. Etika adalah Seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dan yang buruk, merupakan bidang ilmu yang bersifat normatif berperan menentukan mana yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dalam Al Qur’an disebut dengan khuluk (etika), Khayr (kebaikan), Birr (kebenaran), Qist (persamaan), ‘adl (kesetaraan dan keadilan), haqq (kebenaran dan kebaikan) dan ma’ruf (mengetahui dan menyetujui). Sedangkan etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan. Penerapan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya perusahaan. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yaitu yang mencangkup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak etis

2.2  Pengertian Good Corporate Governance (GCG)
    Good corporate governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks,2003). Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.

      Ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate governance, (Kaen, 2003; Shaw, 2003) yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip good corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Konsep good corporate governance baru populerdi Asia. Konsep ini relatif berkembang sejak tahun 1990-an. Konsep good corporate governance baru dikenal di Inggris pada tahun 1992. Negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok OECD (kelompok Negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara) mempraktikkan pada tahun 1999.

      Good Corporate Governance atau dikenal dengan nama Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun dilatar belakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi  penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang  berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminal-yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk.

    Salah satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi di suatu negara, dan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yangmana mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia; disamping juga menyebabkan krisis global dibeberapa belahan negara dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah amerika mengeluarkan Sarbanes-Oxley Act tahun 2002; undang-undang dimaksud berisikan penataan kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara.

Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi yang mencakup :
a.                   hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan perlindungannya,
b.                  peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders)
lainnya,
c.                   pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu,
d.                  transparansi terkait dengan struktur dan  operasi perusahaan,
e.                   tanggungjawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri,
kepada para pemegang saham dan pihak lain yang berkepentingan.

2.2.1        Perinsip-perinsip GCG
Good Corporate Governance merupakan gabungan prinsip-prinsip dasar dalam membangun suatu tatanan etika kerja dan kerjasama agar tercapai rasa kebersamaan, keadilan, optimasi dan harmonisasi hubungan sehingga dapat menuju kepada tingkat perkembangan yang penuh dalam suatu organisasi atau badan usaha.
Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance yaitu:
1.      Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
2.      Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
3.      Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
4.      Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5.      Fairness (kesetaraan da kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hakhak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Esensi dari corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.

2.2.2        Tahap- tahap Penerapan GCG
Dalam pelaksanaan penerapan GCG di perusahaan adalah penting bagi perusahaan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi perusahaan, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di dalam perusahaan.
Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan GCG menggunakan pentahapan berikut (Chinn, 2000; Shaw,2003).
Tahap Persiapan.
Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama:
 1.  Awareness building,
 2. GCG assessment, dan
            3. GCG manual building.

Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama dalam penerapannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Bentuk kegiatan dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok.

GCG Assessment merupakan upaya untuk mengukur atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam penetapan GCG saat ini. Langkah ini perlu guna memastikan titik awal level penerapan GCG dan untuk mengidentifikasi langkah-langkah
yang tepat guna mempersiapkan infrastruktur dan struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG secara efektif. Dengan kata lain, GCG assessment dibutuhkan untuk mengidentifikasi aspekaspek apa yang perlu mendapatkan perhatian terlebih dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya. GCG manual building, adalah langkah berikut setelah GCG assessment dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan perusahaan dan upaya identifikasi prioritas penerapannya, penyusunan manual atau pedoman implementasi GCG dapat disusun. Penyusunan manual dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Manual ini dapat dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai aspek seperti:

• Kebijakan GCG perusahaan
• Pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan
• Pedoman perilaku
• Audit commitee charter
• Kebijakan disclosure dan transparansi
• Kebijakan dan kerangka manajemen resiko
• Roadmap implementasi


2.2.3        Penerapan GCG Di Indonesia
Krisis ekonomi yang menghantam Asia telah berlalu lebih dari delapan tahun. Krisis ini ternyata berdampak luas teutama dalam merontokkan rezimrezim politik yang berkuasa di Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga Negara yang diawal tahun 1990-an dipandang sebagai “the Asian tiger”, harus mengakui bahwa pondasi ekonomi mereka rapuh, yang pada akhirnya merambah pada krisis politik. Setelah delapan tahun, sejak krisis tersebut melanda, kita sekarang dapat melihat pepertumbuhan kembali Negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut. Korea Selatan yang pernah terjangkit kejahatan financial yang melibatkan para eksekutif puncak perusahaan-perusahaan blue-chip, kini telah pulih. Perkembangan yang sama juga terlihat dengan Thailand maupun Negara-negara ASEAN lainnya. Bagaimana dengan Indonesia?. Era pascakrisis ditandai dengan goncangan ekonomi berkelanjutan. Mulai dari restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para konglomerat, yang berakibat pada penurunan iklim berusaha (Bakrie,2003).

Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menunjukkan beberapa faktor yang memberi kontribusi pada krisis di Indonesia. Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi; kedua, tidak efektifnya fungsi pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan rendahnya transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan; keempat, terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal; dan kelima, ketidak memadainya pengawasan oleh para kreditor. Tantangan terkini yang dihadapi masih belum dipahaminya secara luas prinsip-prinsip dan praktek good corporate governance oleh kumunitas bisnis dan publik pada umumnya (Daniri, 2005). Akhirnya komunitas internasional masih menempatkan Indonesia pada urutan bawah rating implementasi GCG sebagaimana dilakukan oleh Standard & Poor, CLSA, Pricewaterhouse Coopers, Moody`s Morgan, and Calper`s.


2.2.4        Tujuan  GCG
GCG bukanlah seata-mata persoalan membentuk organ-organ perusahaan seperti komisaris independen dan komite audit, tapt GCG adalah sebagaimana menciptakan pengelolaan perusahaan yang professional melalui penerapan system akunting dan keuangan yang memenuhi standar serta bagaimana manajemen dilengkapi dengan system teknologi informasi yang mendukung operasional perusahaan.
            Good  corporate governance mempunyai 5 tujuan utama yaitu :
a)      Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;
b)      Melindungi hak dan kepentingan stakeholders lainnya;
c)      Meningkatkan nilai saham dan perusahaan;
d)     Meningkatkan kinerja Dewan Komisaris dan Manajemen;
e)      Meningkatkan mutu hubungan Dewan Komisaris dan Manajemen.

Semua kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan diselEnggarakan dengan sIstem pengendalian internal yang mencakup :
a)      Pengendalian terstruktur terrdiri atas :
1.      Intergritas, nilai etika dan kompetensi karyawan
2.      Filosofi dan gaya manajemen
3.      Keseimbangan tanggung jawab dan kewenangan
4.      Pengembangan sumberdaya manusiwa
5.      Arahan dari direksi
b)      Pengkajian dan pengelolaan resiko Usaha;
c)      Pengendalian menyeluruh di setiap unit, aspek dan tingkatan;
d)      Ketaatan pada peraturan dalam pelaksanaan, pelaporan dan
          pertanggungjawaban;
e)      System monitoring dengan dukungan audit internal.

2.2.5 Manfaat GCG
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan penerapan GCG adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil peluang praktik manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk (2003) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasa mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu :
1.      Berdasarkan survey yang dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukan bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
2.      Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.
3.      Internasioanlisasi pasar termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4.       Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, system ini dapat menjadi dasar bagi berkembangnya system nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5.      Secara teoretis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Indra Surya dan Ivan yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan GCG adalah :
1.    Memudahkan askes terhadap investasi domestic maupun asing
2.    Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah
3.    Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
       perusahaan
4.    Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap
       perusahaan
5.    Melindungi direksi dan komisaris dari tuntunan hukum.

2.3 EVA (Economic Value Added)
EVA (Economic Value Added) adalah salah satu cara untuk menilai kinerja keuangan. EVA merupakan indikator tentang adanya pertambahan nilai dari suatu inverstasi. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang EVA dengan definisi yang berbedabeda. Berikut adalah beberapa definisi EVA menurut beberapa ahli:
1.      EVA adalah suatu tolak ukur yang menggambarkan jumlah absolute dari nilai pemegang saham (Shareholder value) yang diciptakan (Created) atau dirusak (destroyed) pada suatu periode tertentu, biasanya satu tahun (Tunggal, 2001)
2.       EVA adalah alat ukur kinerja keuangan dengan mengukur perbedaan antara pengembalian atas modal perusahaan dengan biaya modal. (O’Byrne et al, 2001)
3.      EVA adalah laba di atas (melebihi) biaya kewajiban/hutang dan biaya modal (cost of capital) perusahaan. Secara lebih rici didefinisikan sebagai laba usaha dikurangi dengan pajak dan biaya bunga atas hutang serta dikurangi cadangan biaya modal (Rahardjo, 2005).

Hal tersebut diatas serupa dengan pengukuran keuntungan konvensional, tetapi dengan suatu perbedaan penting, EVA mengukur biaya seluruh modal. Angka nilai bersih dalam Laporan Laba Rugi hanya mempertimbangkan jenis biaya modal yang mudah dilihat bunga sementara mengabaikan biaya ekuitas. Meskipun menaksir biaya ekuitas merupakan proses subyektif, pengukuran kinerja yang mengabaikan biaya seperti itu tidak dapat mengungkapkan bagaimana perusahaan yang sukses telah menciptakan nilai bagi pemiliknya. Perbedaan lain antara EVA dengan keuntunga konvensional adalah EVA tidak dipaksakan oleh prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accepted accounting principles/GAAP)
Langkah-langkah untuk menghitung EVA (Rokhayati, 2003) :
1.      Menghitung NOPAT (Net Operating After Tax). Laba bersih sebelum pajak adalah laba operasi perusahaan dari suatu current operating yang merupakan laba usaha setelah dikurangi beban bunga. Pajak yang digunakan dalam perhitungan EVA adalah pengorbanan yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam penciptaan nilai tersebut.
Rumus : NOPAT = Laba usaha - Pajak
2.       Menghitung Invested Capital. Total hutang dan ekuitas menunjukkan beberapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang. Pinjaman jangka pendek tanpa bunga merupakan pinjaman yang digunakan perusahaan yang pelunasan maupun pembayarannya akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan, dan atas pinjaman itu tidak dikenai bunga, seperti hutang usaha, hutang pajak, dan lain-lain.
Rumus : Invested capital = Total hutang & Ekuitas – hutang jk pendek
3.       Biaya Modal rata-rata tertimbang dengan pendekatan weighted average Cost of capital (WACC)
Rumus : WACC = {D x rd (1 –Tax)} + (E x re)

Keterangan:

  •  Tingkat Modal dari Hutang (D ) = Total Hutang / Total Hutang dan ekuita



  •    Biaya Hutang (rd) = Biaya Bunga / Total Hutang jk panjang



  •   Tingkat Pajak (T) =  Beban Pajak / Laba Sebelum Pajak



  •  Tingkat Modal dari Ekuitas (E) = Total Ekuitas / Total Hutang dan Ekuitas





  •   Biaya Ekuitas (re) = EAT / Total Ekuitas


4.     Perhitungan Capital Charges


                    Rumus : Capital Charges = Invested capital x WAC 

           5.      Perhitungan Economic Value Added (EVA)
    Rumus : EVA = NOPAT – Capital Charges

Kriteria EVA yang dipgunakan, yaitu pandangan tentang Economic Value Added dari sudut investor pemilik modal atau pemilik perusahaan:
a)      Jika EVA > 0, maka telah terjadi penambahan nilai ekonomi ke dalam perusahaan, sehingga perusahaan telah mampu memenuhi harapan penyandang dana.
b)      Jika EVA < 0, menunjukkan tidak terjadinya proses nilai tambah pada perusahaan, karena laba yang tersedia tidak dapat memenuhi harapan para penyandang dana.

      2.4 MVA (Market Value Added)
Tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham yang dilakukan dengan memaksimalkan selisih antara market value of equity dan jumlah modal yang ditanamkan investor kedalam perusahaan. Selisih tersebut disebut sebagai Market Value Added (MVA). MVA digunakan untuk mengukur seluruh pengaruh kinerja manajerial sejak perusahaan berdiri hingga sekarang. MVA yang dihasilkan oleh kinerja manajerial sepanjang umur perusahaan yang di-present value-kan (Mirza & Imbuh, 1999). MVA diperoleh dengan mengalikan selisih antara harga pasar saham dan nilai buku perlembar saham dengan jumlah saham yang dikeluarkan. Nilai pasar saham perusahaan dicerminkan oleh harga saham yang tercantum pada akhir periode selama tahun tersebut berlangsung (umumnya per 31 Desember). Nilai buku per lembar saham diperoleh dengan membagi keuntungan perlembar saham atau earning per share (EPS) dengan tingkat pengembalian atas modal sendiri atau return on equity (ROE) atau dengan membagi total eqiuty denga jumlah lembar saham yang beredar. Rasyid (2009) dalam Prakasa (2007) menyatakan Market Value Added (MVA) adalah perbedaan antara modal yang ditanamkan di perusahaaan sepanjang waktu dari investasi modal, pinjaman dan laba ditahan dan uang yang bisa diambil sekarang, atau sama dengan selisih anatara nilai buku dan nilai pasar saham plus obligasi. Market Value Added (MVA) digunakan untuk mengukur seluruh pengaruh dari kinerja manajerial sejak perusahaan berdiri hingga sekarang. Analisis ini didasarkan pada pemikiran kaum fundamentalis yang menyatakan bahwa Value of Equity yang mewakili Value of the Firm yang ditentukan oleh faktor-faktor fundamental perusahaan. Menurut Steward (Prakasa, 2007) menyakini dan mempopulerkan Market Value Added (MVA) sebagai ukuran yang paling tepat untuk menilai sukses tidaknya perusahaan dalam menciptakan kekayaan bagi permlik. Jadi, kekayaan atau kesejahteraan pemilik perusahaan (pemegang saham) akan bertambah bila Market Value Added (MVA) bertambah. Peningkatan Market Value Added (MVA) dapat dilakukan dengan cara meningkatkan Economic Value Added (EVA) yang merupakan pengukuran internal kinerja operasional tahunan, dengan demikian Economic Value Added (EVA) mempunyai hubungan yang kuat dengan Market Value Added (MVA).

MVA = (Harga Saham x Jumlah Saham Beredar)  - Total Ekuitas
Kriteria Market Value Added (MVA) adalah :
a)      MVA yang positif (MVA > 0) menunjukkan pihak manajemen telah mampu meningkatkan kekayaan pemegang saham
b)      MVA yang negatif (MVA < 0 menunjukkan berkurangnya nilai modal pemegang saham.




BAB III
 PEMBAHASAN


3.1       Peran Etika Bisnis Terhadap Good Coorporate Governance di PT. MNC Kapital Tbk
            TATA KELOLA PERUSAHAAN

Berdasarkan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan PT. MNC Kapital Indonesia, Tbk., maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Aspek Struktur Tata Kelola Terintegrasi
Konglomerasi Keuangan PT. MNC Kapital Indonesia, Tbk. telah memiliki struktur dan infrastruktur yang memadai. Hal ini tercermin dari kelengkapan perangkat organisasi Tata Kelola Terintegrasi dan kecukupan kebijakan dan prosedur yang telah sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan.

2. Aspek Proses Tata Kelola Terintegrasi
Efektivitas pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi yang didukung oleh kecukupan struktur dan infrastruktur telah memadai. Namun Konglomerasi Keuangan PT. MNC Kapital Indonesia, Tbk. terus berupaya untuk memaksimalkan peran/fungsi perangkat organisasi di Entitas Utama maupun di Lembaga Jasa Keuangan (LJK), untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi tersebut, diantaranya dengan meningkatkan koordinasi dan sinergi antar-perusahaan yang lebih baik.

3. Aspek Hasil Tata Kelola Terintegrasi
Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi Konglomerasi Keuangan PT. MNC Kapital Indonesia, Tbk. telah dilakukan dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku sehingga dapat memberikan hasil yang sesuai dengan harapan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini didukung dengan komitmen untuk menerapkan tata kelola yang baik dari PT. MNC Kapital Indonesia, Tbk. selaku Perusahaan Pengendali.

Tugas dan Tanggung Jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi PT. MNC Kaptal Tbk
Dalam menjalankan fungsinya, Komite Tata Kelola Terintegrasi memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
a.   Mengevaluasi pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit melalui penilaian kecukupan pengendalian intern dan pelaksanaan fungsi kepatuhan secara terintegrasi;
b. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris Entitas Utama untuk penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; dan
c.  Memberikan pendapat atas Laporan Self Assessment Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi.

Sedangkan Tugas dan Tanggung Jawab Direksi dituangkan didalam Pedoman & Tata Tertib Kerja Direksi yang telah disahkan dan ditandatangani oleh seluruh Direksi pada tanggal 1 Desember 2009 yaitu:
a.    Menjalankan pengurusan Bank dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Bank sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan
b.    Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Bank apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sebagaimana diatur dalam pasal 97 UUPT;
c.       Menjaga kelangsungan usaha Bank, mengimplementasikan visi, misi, strategi, sasaran usaha serta rencana jangka panjang dan jangka pendek, terpeliharanya kesehatan Bank sesuai dengan prinsip kehati-hatian, terlaksananya pengendalian internal dan manajemen risiko, terlindunginya kepentingan stakeholders secara wajar dan terpenuhinya prinsip-prinsip GCG dalam pengambilan keputusan dan pengurusan Perseroan
d.    Menetapkan suatu sistem pengawasan internal yang efektif untuk tercapainya kepastian berkenaan dengan keberadaan informasi keuangan, efektivitas dan efisiensi proses pengelolaan Bank dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan mengamankan investasi dan aset Bank
e.    Menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi Internal Audit Group, auditor esternal, hasil pengawasan OJK dan atau hasil pengawasan otoritas lainnya
f.    Melakukan pengawasan aktif atas penerapan manajemen risiko yang melekat pada seluruh aktifitas Bank, yang mencakup :
·         Menyusun kebijakan dan strategi manajemen risiko dan eksposur risiko;
·         Bertanggung jawab atas pelaksanaan manajemen risiko dan eksposur risiko;
·         Mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi;
·          Mengembangkan budaya faham risiko pada seluruh jenjang organisasi;
·          Memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan manajemen risiko
·         Memastikan fungsi manajemen risiko telah beroperasi secara independen.
g.   Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) setiap awal tahun sesuai peraturan perundang-undangan dan ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan Dewan Komisaris
h.   Menyusun Laporan Keuangan Tahunan sesuai peraturan perundang-undangan yang ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan Dewan Komisaris untuk diajukan dan mendapat pengesahan dalam RUPS Tahunan
i.      Menyelenggarakan RUPS Tahunan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir dan RUPS Luar Biasa berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Bank
j.   Dalam menjalankan tugasnya Direksi dibantu oleh komite-komite eksekutif yaitu: Komite Manajemen Risiko, ALCO, Komite Pengarah Teknologi Informasi dan Komite Produk & Layanan
k.     Direksi juga melakukan kunjungan kerja ke cabang-cabang guna memberi dukungan atas pencapaian rencana kerja Bank, yang antara lain dalam bentuk bertemu dengan prospek nasabah di cabang-cabang. Selain itu, Direksi juga melakukan internalisasi/sosialisasi atas penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan dan nilai-nilai utama budaya kerja (core values) kepada jajaran pegawai.


3.2 Pengaruh EVA dan MVA di PT. MNC Kapital Tbk
            Economic Value Added (EVA)

Berikut ini merupakan langkah-langkah perhitungan Economic Value Added (EVA) PT. MNC Kapital Tbk dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 :
1)      Menghitung Net Operating Profit After Tax (NOPAT). NOPAT adalah laba yang diperoleh dari laba operasi perusahaan, dikurang dengan pajak. NOPAT menunjukan nilai yaitu ditahun 2013 adalah 137.519.431 (dalam jutaan rupiah)  pada tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 7,18% atau meningkat menjadi 236.316.0000 (dalam jutaan rupiah) peningkatan ini disebabkan karena terjadinya peningkatan pada EAT (Earning After Tax ) dari 2013 sebesar 5.645.594 (dalam jutaan rupiah) ke 2014 sebesar 3,99% atau naik menjadi 28.176.000 (dalam jutaan rupiah) dan pada komponen pajak ikut naik dari 19.569.569 (dalam jutaan rupiah) naik menjadi 27.229.000 (dalam jutaan rupiah) atau naik sebesar 3,91 % ditahun 2014. Pada tahun 2015 NOPAT juga mengalami kenaikan sebesar 8 % yaitu dari 236.316.000 (dalam jutaan rupiah) menjadi 257.084.000 (dalam jutaan rupiah) dari tahun 2014. Disisi lain  pajak mengalami penurunan dari tahun 2014 turun dari 27.229.000 (dalam jutaan rupiah) menjadi 12.229.000 (dalam jutaan rupiah) ditahun 2015 atau turun sebesar 5.50 %. Net Operating Profit After Tax sangat mempengaruhi tingkat penciptaan nilai perusahaan, jika nilai NOPAT rendah kemudian tingkat biaya modal lebih tinggi maka perusahaan tidak berhasil menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Naik turunnya nilai NOPAT dipengaruhi oleh Pajak dan Laba usaha, perusahaan harus lebih memperhatikan laba usaha jika ingin membuat nilai tambah bagi perusahaan.

2)       Invested Capital. Berdasarkan perhitungan Invested Capital dari tahun 2013- 2014 mengalami penurunan sebesar 5,47 % yaitu dari 3.166.002.373 (dalam miliaran rupiah) menjadi 1.431.637.100 (dalam miliaran rupiah). dan dari tahun 2014-2015 mengalami kenaikan sebesar 8,99%.

3)      Biaya Modal Rata- rata tertimbang dengan pendekatan Weighted Average cost of capital (WACC). Ditahun 2013 WACC diketahui 0,16 dan mengalami kenaikan menjadi 0,38 ditahun 2014. Tetapi ditahun 2015 nilai WACC mengalami penurunan menjadi 0,25.

4)       Perhitungan Capital Charges, Hasil perhitungan Capital Charges diperoleh dari hasil perkalian antara modal yang diinvestasikan dengan WACC. Pada tahun 2013 diperoleh nilai sebesar 506.560.379 tahun 2014 diperoleh nilai 544.022.098 dan terakhir pada tahun 2015 diperoleh nilai sebesar 3.562.469.250.

5)      Perhitungan Economic Value Added, Dengan komponen yang telah dihitung diatas maka kemudian dapat dihitung nilai EVA PT. MNC Kapital Tbk yaitu dengan mengurangi NOPAT dengan Capital Charges. Penilaian kinerja melalui metode EVA menghasilkan nilai EVA yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh jumlah capital yang dimiliki tiap tahun. Nilai EVA positif pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 tingkat pengembalian yang dihasilkan lebih besar dari tingkat biaya yang dikeluarkan. atau besarnya laba bersih dan rendahnya biaya modal. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan konsep EVA terlihat bahwa nilai EVA akan positif apabila nilai NOPAT melebihi Capital Charges yang berarti terjadi penciptaan nilai NOPAT lebih besar dan peningkatan capital Capital Charges yang berarti terjadi peningkatan atau perbaikan nilai tambah, yang terjadi di PT. MNC Kapital Tbk semua NOPAT lebih dari nilai Capital Charges Pada tahun 2013 manajemen berhasil menciptakan nilai EVA negatif sebesar Rp.  -.369.040.948 dengan nilai NOPAT Rp. 137.519.431 dan Capital Charges dengan nilai Rp. 506.560.379. Capital Charges dipengaruhi oleh komponen WACC yaitu biaya modal atas ekuitas (Cost Of equity), biaya modal atas hutang (cost of debt), Tingkat Modal dari Utang, tingkat ekuitas, dan tingkat pajak (Tax). Pada 2014 juga terjadi EVA yang negative lebih besar dari 2013 yaitu sebesar  Rp. – 317.706.098 dengan nilai NOPAT Rp. 236.316.000 dan Capital Charges dengan nilai Rp.544.022.098. Kemudian ditahun 2015 NOPAT mengalami kenaikan dengan nilai NOPAT sebesar Rp. 257.084.000 dan Capital Charges dengan nilai sebesar Rp.  3.562.469.250 maka didapat nilai EVA yang tetap negative adalah sebesar Rp.-3.348.134.881. Maka diketahui bahwa PT. MNC Kapital Tbk belum mampu mengalami nilai tambah dari tahun 2013-2015. Maka disimpulkan bahwa, Manajemen belum berhasil menciptakan nilai tambah bagi perushaan, dan menciptakan nilai bagi penyedia dana. Dan manajemen tidak bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham.

6)      Market Value Added (MVA)
Pada tahun 2013, MVA yang dihasilkan PT. MNC Kapital Tbk positif sebesar Rp.1.827.459.769 Hal ini menandakan perusahaan berhasil memelihara kepercayaan investor atas modal yang diberikan untuk meningkatkan nilai modal yang ditanamkan kepada investornya.  Pada tahun 2014, MVA yang dihasilkan positif lebih besar dari tahun 2013 sebesar Rp. 3.983.156.992 dengan MVA yang lebih besar dari tahun sebelumnya perusahaan bisa menambah kepercayaan investor. Begitu juga dengan tahun 2015 MVA semakin meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp.7.881.244.821 Maka diketahui bahwa PT. MNC Kapital Tbk telah mampu meningkatkan kekayaan perusahaan dan para pemegang saham atau bisa dikatakan kinerja perusahaan sehat, dan semakin tinggi nilai MVA, semakin baik pekerjaan yang telah dilakukan manajemen bagi pemegang saham perusahaan.



BAB IV
 KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Dalam penulisan ini dapat di simpulkan bahwa, pelaksanaan GCG pada PT. MNC Kapital Tbk belum berjalan sesuai dengan kaidah yang berlaku, EVA yang dihasilkan perusahaan masih berpengaruh negative terhadap perusahaan berarti Manajemen belum berhasil menciptakan nilai tambah bagi perusahaan, dan belum pula menciptakan nilai bagi penyedia dana. Dan manajemen tidak bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham. Melainkan dengan MVA yang dihasilkan perusahaan PT. MNC Kapital Tbk bernilai positif yang artinya kinerja perusahaan baik. Jadi, EVA (Economic Value Added) pada perusahaan harus meningkatkan nilai tambah ekonomis atau dapat diartikan sebagai suatu konsep yang di landasi oleh pemikiran bahwa dalam pengukuran laba operasi perusahaan harus adil mempertimbangkan harapan-harapan setiap penyedia dana (kreditur dan pemegang saham) untuk meningkatkan nilai EVA yaitu dengan Meningkatkan keuntungan, mengurangi pemakaian modal, dan melakukan investasi pada proyek-proyek dengan pengembangan tinggi.

Dan perusahaan harus lebih meningkatkan lagi Market Value Added (MVA) agar nilai perusahaan dan nilai saham beredar ditambah dengan utang dan jumlah modal (capital) yang ditanamkan dapat terus meningkat.  MVA yang positif berarti menunjukan pihak manajemen telah mampu meningkatkan kekayaan pemegang saham.

Berdasarkan penilaian pelaksanaan GCG terhadap aspek Governance Structure, Governance Process, dan Governance Outcome pada 11 (sebelas) Faktor Penilaian GCG sebagaimana yang tertuang dalam Kertas Kerja Penilaian Sendiri (Self Assessment) GCG, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Aspek Governance Structure
Struktur dan Infrastruktur tata kelola Bank telah cukup memadai. Hal ini tercermin dari pemenuhan komposisi Komisaris, Direksi, Komite dan Satuan Kerja pada Bank yang telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta didukung oleh kebijakan dan prosedur yang telah sesuai dengan kebutuhan Bank berdasarkan kompleksitas usaha Bank.

2. Aspek Governance Process
Efektivitas pelaksanaan prinsip GCG yang didukung oleh struktur dan infrastuktur tata kelola Bank cukup memadai. Namun untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan prinsip GCG tersebut, Bank perlu melakukan beberapa hal, diantaranya meningkatkan kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) serta menerapkan kebijakan dan prosedur internal secara konsisten dan berkesinambungan dalam setiap pelaksanaan kegiatan usaha yang ada di Bank.

3. Aspek Governance Outcome
Manajemen Bank terus berupaya untuk meningkatkan tata kelola perusahaan, agar dapat menghasilkan outcome yang sesuai dengan harapan stakeholders Bank. Langkah-langkah perbaikan yang telah dilakukan oleh manajemen antara lain penyesuaian kuantitas dan peningkatan kualitas SDM, peningkatan budaya kepatuhan dan risk awareness melalui pemberian training/sosialisasi ketentuan internal dan eksternal yang berlaku serta penerapan budaya kerja yang sesuai dengan visi dan misi Bank.

Kelemahan Pelaksanaan GCG pada PT. MNC Kapital Tbk:
Terdapat kelemahan dalam kurangnya kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kompetensi SDM atas penerapan kebijakan dan prosedur menjadi salah satu hambatan/kendala dalam pelaksanaan prinsip GCG. Namun, manajemen Bank terus berupaya untuk melakukan perbaikan, sehingga pelaksanaan GCG dapat terus ditingkatkan.



DAFTAR PUSTAKA

Moving Toward A Financial Supermarket. PT. MNC Kapital Indonesia Tbk, Laporan Tahunan 2013. Annual Report. MNC Financial Service, 2013.

Integrated Financial Solutions. PT. MNC Kapital Indonesia Tbk, Laporan Tahunan 2014. Annual Report. MNC Financial Service, 2014.

Bussines Transformation For Service Excellence. PT. MNC Kapital Indonesia Tbk, Laporan Tahunan 2015. Annual Report. MNC Financial Service, 2015

Akuntabilitas dan Good Governance, Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2000.

Bakrie, Aburizal, Good Corporate Governance: Sudut Pandang Pengusaha, YPMMI & Sinergi Communication, Jakarta, 2002.

Daniri Mas Ahmad, Good Corporate Governance : Konsep dan Penerapannya di Indonesia. Ray Indonesia, Jakarta, 2005.