Jumat, 24 Maret 2017

ANALISIS PERBEDAAN GENDER TERHADAP PRILAKU ETIS DAN PROFESIONALISME KERJA



Disusun Oleh :
Nama: Hanifah Febrilla
Kelas: 3EA27





FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017



     BAB I
                                               PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Fenomena perbedaan gender telah mempengaruhi jenis pekerjaan atau karir yang harus diambil oleh seseorang. Stereotype masyarakat seringkali telah menilai terhadap jenis kelamin seseorang. Masyarakat menghendaki agar jenis tugas atau pekerjaan tertentu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu pula. Memang baik diakui atau tidak, jenis kelamin kadang-kadang menentukan seseorang dalam memilih karir pekerjaan. Seorang perempuan mungkin akan mengambil karir yang kiranya dapat dijalaninya, tanpa banyak hambatan dengan peran jenis gendernya nanti di kemudian hari, misalnya sekretaris, dokter anak, psikolog anak, guru atau dosen, penunggu atau penjaga toko dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya seorang laki-laki akan memilih sesuai dengan dirinya misalnya tentara, polisi, hakim, jaksa dan lain sebagainya.

Seiring berkembangnya zaman membuat para wanita merasa mempunyai hak untuk membentuk karir mereka sendiri selain tugas wajib mereka sebagai ibu rumah tangga. Banyak forum – forum diskusi yang dibuka untuk para wanita dalam membicarakan masa depan karir mereka dan para wanita saat ini pun sudah mulai terbuka wawasannya untuk tidak hanya bekerja berdasarkan gender saja tetapi, mereka sudah mulai mencoba untuk bekerja dibidang yang dimana kebanyakan yang melakukan adalah kaum pria. Menurut Irianto (2001 : 94), pengertian karir meliputi elemen-elemen obyektif dan subyektif. Elemen obyektif berkenaan dengan kebijakan-kebijakan pekerjaan atau posisi jabatan yang ditentukan organisasi, sedangkan elemen subyektif menunjuk pada kemampuan seseorang dalam mengelola karir dengan mengubah lingkungan obyektif (misalnya dengan mengubah pekerjaan/jabatan) atau memodifikasi persepsi subyektif tentang suatu situasi (misalnya dengan mengubah harapan).

Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah apakah gender mempengaruhi sensitivitas etis setiap individu. Mutmainah (2007) menyatakan bahwa wanita lebih sensitif dalam hal etika ketika mengungkapkan suatu kejadian etis atau tidak etis, serta memiliki latar belakang dan pengembangan moral yang lebih baik jika dibandingkan dengan pria. Seringkali wanita tidak menginginkan penyajian informasi yang salah tentang laporan keuangan suatu perusahaan dan mereka mampu membuat perubahan struktural dalam organisasi saat dirinya memiliki kekuasaan di bidang perekonomian. Hal ini didukung dengan hasil  penelitian Mutmainah (2007) yang menyimpulkan bahwaterdapat perbedaan orientasi etis diantara pria dan wanita. Cohen et al. (1998) dalam Mutmainah (2007) juga memperkuat pernyataan jika wanita lebih memiliki sensitivitas etis dibandingkan pria di dalam situasi dilema etis. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Comunale et al. (2006) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara variabel gender dan pertimbangan etika individu.

Tingkat profesionalisme yang tinggi juga dituntut harus ada dalam diri seorang auditor untuk membangun kepercayaan publik, serta meyakinkan semua pihak terhadap kualitas jasa yang diberikan. Auditor yang profesional tidak hanya ahli, tetapi juga berhati-hati dalam melakukan profesinya (Ikhsan, 2007). Banyak isu yang mempertanyakan tentang keprofesionalismean seorang auditor karena kinerja mereka dalam memeriksa laporan keuangan yang buruk sehingga banyak mengandung kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Tindakan ini mengakibatkan kewajaran atas laporan keuangan menjadi diragukan oleh para pemakai laporan keuangan (Herawaty dan Susanto, 2009). Abdurrahim (1998) dan Santosa (2001) dalam Ikhsan (2007) menyatakan bahwa terdapat perbedaan sikap antara pria dan wanita dalam merespon motivasi dan segala perubahan yang terjadi di lingkungan kerjanya. Hal ini dikarenakan adanya peran domestik di keluarga dan diskriminasi yang dihadapi oleh wanita dalam segala aspek sehingga mempengaruhi sikap profesionalisme mereka. Ikhsan (2007) sendiri menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat profesionalisme auditor jika dilihat dari perbedaan gender. Adanya ketidakkonsistenan kinerja akuntan publik berdasarkan isu gender, baik dalam perilaku etis, orientasi etis maupun tingkat profesionalisme seorang auditor, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dengan penelitian yang berjudul “Analisis Perbedaan Gender terhadap Perilaku Etis,

Hal umum yang telah diterima secara luas adalah bahwa pria dan wanita semenjak lahir telah diperlakukan dengan cara yang berbeda. Riset yang dilakukan Ragins, Townsend, dan Mathis (1998) telah membuktikan bahwa pria dan wanita sama dalam kemampuan belajar, memori, kemampuan penalaran, kreativitas dan intelijen. Namun, beberapa orang masih percaya bahwa kreativitas, penalaran, dan kemampuan belajar antara pria dan wanita itu berbeda. Ada banyak sekali perdebatan mengenai perbedaan pria dan wanita dalam hal kinerja pekerjaan, absensi, dan tingkat perpindahan. Adapun debat mengenai kinerja pekerjaan bersifat inconclusive. Belum ada data meyakinkan yang menunjukkan bahwa pria lebih baik kinerjanya daripada wanita, ataupun sebaliknya. Satu-satunya area di mana ditemukan perbedaan yang agak konsisten antara pria dan wanita adalah mengenai absensi. Wanita memiliki tingkat absensi yang lebih tinggi karena biasanya ia menjaga dan mengurusi anak-anak, orang tua yang renta, dan pasangannya yang sakit, sehingga membuatnya absen dari pekerjaan (Farrell dan Stamm, 1983). Sulit untuk mengukur apakah perubahan-perubahan dalam masyarakat akan dapat menyebabkan pria dan wanita menjadi lebih serupa. Ketika masyarakat menekankan perbedaan gender dan memperlakukan pria dan wanita dengan cara yang berbeda, akan ada beberapa perbedaan dalam hal tersebut sebagai keagresifan dan perilaku sosial. Namun, ketika masyarakat lebih menekankan pada kesamaan kesempatan dan perlakuan, banyak perbedaan-perbedaan gender yang hilang seketika (Elvira dan Cohen, 2001).

            Perbedaan gender juga sangat berpengaruh pada prilaku etis dan profesionalisme seseorang dalam bekerja pada suatu perusahaan. Istilah profesional itu berlaku untuk semua aparat mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah. Profesionalisme dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing. Profesionalisme  menyangkut kecocokan (  fitness), antara kemampuan yang dimiliki  oleh birokrasi (bereaucratic – competence ) dengan kebutuhan tugas ( task – reguerement ), terpenuhi kecocokan antara kemampuan dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi ( Kurniawan, 2005: 74 ). Menurut Imawan ( 1997 : 77 ) profesionalisme menunjukkan hasil kerja yang sesuai dengan standar teknis atau etika sebuah profesi. Aktivitas kerja itu lazim berhubungan dengan penghasilan dalam bentuk uang.

Untuk menciptakan kadar profesionalitas dalam melaksanakan misi institusi persyaratan dasarnya adalah tersedianya sumber daya manusia yang andal, pekerjaan yang terprogram dengan baik, dan waktu yang tersedia untuk melaksanakan program tersebut serta adanya dukungan dana yang memadai dan fasilitas yang memadai dan fasilitas yang mendukung. Profesionalisme pegawai sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan pegawai yang tercermin melalui perilakunya sehari – hari dalam organisasi. Tingkat kemampuan pegawai yang tinggi akan lebih cepat mengarah kepada pencapaian tujuan organisasi yang telah direncanakan sebelumnya, sebaliknya apabila tingkat kemampuan pegawai rendah kecenderungan tujuan organisasi yang akan dicapai akan lambat bahkan menyimpang dari rencana semula. Istilah kemampuan menunjukkan potensi untuk melaksanakan tugas yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan. Kalau disebut potensi, maka kemampuan disini baru merupakan kekuatan yang ada di dalam diri seseorang. Dan istilah kemampuan dapat juga dipergunakan untuk menunjukkan apa yang akan dapat dikerjakan oleh seseorang, bukan apa yang telah dikerjakan oleh seseorang.

                Bersikap etis atau tidak seseorang di tempat kerja biasanya bukanlah hasil dari apa pun. Sebagai contoh, hal ini bukan saja kecenderungan etis para karyawan, karena bahkan karyawan yang etis pun dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor organisasional. Jadi tugas pertama manajer adalah memahami apa yang membentuk perilaku etis, dan kemudian mengambil langkah-langkah nyata untuk memastikan bahwa para karyawan membuat pilihan-pilihan yang etis. Sensitivitas etis menjadi salah satu syarat bagi seorang auditor untuk mengenali suatu isu etis. Banyaknya penelitian yang berfokus pada sensitivitas etika telah menumbuhkan gagasan bahwa proses sensitivitas etika seseorang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan etis. Hebert et al. (1990) dalam Januarti (2011) menyatakan bahwa sensitivitas etis adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui adanya permasalahan etis yang terjadi di lingkungan kerjanya. Harsanti et al. (2002) dalam Crismastuti et al. (2004) menyatakan bahwa kemampuan seorang profesional untuk mengerti dan sensitif terhadap masalah-masalah etika dalam profesinya dipengaruhi oleh lingkungan budaya tempat profesi tersebut, lingkungan profesi, lingkungan organisasi dan pengalaman pribadi. Selain itu, faktor-faktor individual yang menjadi ciri pembawaan sejak lahir juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan etis, seperti gender, umur, kebangsaan dan lain-lain. Khomsiyah dan Indriantoro (1998) dalam Januarti (2011) juga menyatakan bahwa orientasi etis berpengaruh signifikan terhadap sensitivitas. Comunale et al. (2006) menambahkan bahwa orientasi etis dapat mempengaruhi reaksi yang timbul terhadap suatu kejadian atau masalah.

Etika profesional bagi praktik auditor Indonesia dikeluarkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia atau IAPI. Kode etik akuntan publik yang dibuat oleh IAPI menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam KAP. Salah satu hal yang membedakan profesi akuntan publik dengan profesi lain adalah tanggung jawabnya untuk melindungi kepentingan publik, sehingga seorang akuntan publik harus mematuhi dan menerapkan seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam kode etik saat bertindak. Prinsip dasar etika profesi yang harus dipatuhi oleh akuntan publik, yaitu prinsip integritas, objektivitas, prinsip kompetensi, sikap kecermatan dan kehati hatian profesional, serta prinsip kerahasiaan dan perilaku professional. . Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bermaksud untuk membahas tentang “Analisis Perbedaan Gender Terhadap Prilaku Etis dan Profesionalisme Kerja” 

1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas,  maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah :
1.      Bagaimana analisis perbedaan gender terhadap prilaku etis?
2.      Bagaimana analisis perbedaan gender terhadap profesionalisme kerja?

1.3       Tujuan Masalah
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui :
1.      Untuk mengetahui perbedaan gender terhadap prilaku etis pada kinerja karyawan
2.      Untuk mengetahui perbedaan gender terhadap profesionalisme kerja
BAB II
TELAAH LITELATUR

2.1                Pengertian Perbedaan Gender

Istilah gender menurut Umar (1993) dalam Hastuti (2007) adalah suatu konsep kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam mengelola, mencatat dan mengkomunikasikan hal atau informasi untuk menjadi suatu hasil. Gill Palmer dan Tamilselvi Kandasami (1997) dalam Trisnaningsih (2004) mengklasifikasikan gender dalam dua stereotipe, yaitu sex role stereotype dan managerial stereotype.

Pandangan sex role stereotype menyatakan bahwa pria lebih berorientasi pada pekerjaan, objektif, independen, agresif dan lebih bertanggung jawab dalam hal manajerial. Wanita dipandang lebih pasif, lembut, berorientasi pada pertimbangan, lebih sensitif dan rendah posisinya pada pertanggungjawaban dalam organisasi. Managerial stereotype mengartikan pria sebagai orang yang lebih memiliki sikap, perilaku dan temperamen dibandingkan wanita. Pernyataan ini menimbulkan keyakinan bahwa wanita lebih memiliki sensitivitas etis dibandingkan pria di dalam situasi dilema etis (Cohen et al., 1998 dalam Mutmainah, 2007).

Pria dan wanita juga menunjukkan perbedaan dalam berperilaku dan bertindak yang didasarkan pada sifat yang dimiliki dan kodrat yang diberikan secara biologis (Nugrahaningsih, 2005). Nugrahaningsih (2005) menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku etis antara auditor pria dan wanita. Hal ini tidak didukung oleh Reiss dan Mitra (1998) dalam Nugrahaningsih (2005) yang menyatakan bahwa wanita lebih etis dibandingkan dengan pria. Hastuti (2007) juga sependapat dengan Reiss dan Mitra, dimana hasil penelitiannya menunjukkan terdapat perbedaan perilaku etis antara mahasiswa pria dan wanita. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ameen et al. (1996) yang mengindikasikan adanya pengaruh perbedaan gender terhadap perilaku etis seorang auditor.

Berikut adalah aspek-aspek yang menjelaskan perbedaan dari seorang pria maupun wanita yang dapat menjadi aspek pertimbangan dalam penempatan dan penanganan kerja mereka di lapangan:

1. Pola pikir
Adanya perbedaan dari pola pikir seorang pria yang cenderung berpaku pada fakta, sementara pola pikir wanita yang cenderung mengacu pada konsep dan sesuatu yang saling berhubungan. Hal ini mampu menyebabkan bahwa pola pikir dari seorang wanita cenderung lebih luas daripada seorang pria yang straight to the point.

2. Memerintah (giving order)
Pria cenderung lebih tegas dalam memberikan sebuah perintah (order) disebabkan oleh sifat seorang pria pada umumnya yang tidak suka bertele-tele, sedangkan wanita akan lebih mengutarakan perintah mereka dengan kata-kata yang lebih halus dan lebih mudah diterima. Inilah salah satu aspek bahwa dapat anda temui dalam beberapa perusahaan cenderung lebih memilih seorang wanita dalam mengatasi masalah komunikasi dengan pegawai mereka.

3. Pemilaha
n
Pria cenderung lebih dapat memilah-milah semua hal yang mereka temui, sebagai contoh masalah perselisihan dan masalah pekerjaan akan mendapatkan porsi mereka tersendiri, sehingga seorang pria dalam suatu lingkungan kerja cenderung lebih fleksibel, sementara wanita pada umumnya memiliki faktor konektivitas dari pola pikir mereka sehingga mengakibatkan setiap masalah yang mereka temui akan membawa hubungan satu sama lain, sebagai contoh dikarenakan adanya perselisihan dalam suatu pekerjaan dengan rekan kerja dapat mengakibatkan seorang wanita menjadi enggan untuk bekerja di lingkungan tersebut.

4. Problem Solving
Pola pikir seorang pria yang cenderung untuk segera menyelesaikan masalah yang mereka hadapi daripada membicarakannya sangatlah berbeda terbalik dengan wanita yang cenderung lebih suka untuk membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi. Hal ini juga berpengaruh pada pendekatan yang dapat dilakukan oleh seorang pemilik dalam melakukan pendekatan terhadap karyawan / pegawai mereka berdasarkan gender.

5. Tujuan
Pria cenderung untuk lebih menyukai hasil dan cara mereka dalam pencapaian hasil kerja mereka, sedangkan wanita cenderung untuk lebih menyukai tidak hanya pencapaian hasil kerja mereka namun juga penilaian dari orang lain akan proses dan hasil yang mereka capai.

6. Komentar
Pria dalam memberikan komentar akan cenderung lebih straight to the point, apa adanya dan realistis pada fakta yang terjadi, sementara seorang wanita akan cenderung untuk mempertimbangkan cara mereka dalam menyampaikan kritik dan berhati-hati untuk tidak menyingung perasaan orang lain.

7. Bertanya
Pria cenderung lebih tidak suka bertanya daripada wanita disebabkan oleh karena seorang pria hanya ingin mendapatkan informasi dari setiap pertanyaan yang dilontarkan sehingga pada saat informasi telah terkumpul maka seorang pria akan minim bertanya, sementara seorang wanita cenderung lebih suka bertanya bahkan di saat dia tidak memerlukan jawaban, disebabkan karena kecenderungan mereka selain untuk mengumpulkan informasi namun juga untuk menjaga relasi atau hubungan.
Dengan pertimbangan aspek-aspek di atas yang telah anda ketahui maka akan lebih mudah bagi anda sebagai seorang pemimpin perusahaan untuk melakukan penempatan, penanganan dan pendekatan dengan tenaga kerja anda dengan lebih tepat. Seorang wanita yang cenderung lebih komunikatif dan lebih mudah untuk melakukan hubungan ke-luar akan menjadi senjata yang cukup ampuh untuk meningkatkan hubungan eksternal dari perusahaan anda, inilah salah satu alasan mengapa seringkali anda temui seorang customer service adalah seorang wanita. Sedangkan seorang pria yang memiliki efektivitas dalam kinerja internal perusahaan akan lebih baik bagi anda untuk melakukan penempatan dan penugasan berkaitan dengan internal perusahaan yang pada umumnya membutuhkan kecepatan, dan keterampilan kerja yang tinggi yang akan cenderung lebih dapat anda temui pada diri tenaga kerja pria. Penanganan yang tepat dan penempatan posisi kerja yang tepat juga akan meningkatkan efektivitas dan produktivitas sebagai pemicu kesuksesan dari perusahaan anda sendiri. Pemahaman dari setiap instrument perusahaan merupakan suatu kewajiban utama bagi seorang pemimpin perusahaan.

2.2                Prilaku Etis

Etika adalah keyakinan atau tindakan mengenai benar dan salah serta tindakan baik dan buruk yang mempengaruhi hal-hal lain atau pihak lain. Etika diukur didasarkan pada budaya setempat, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia, dan lainnya. Perilaku dalam beretika, dalam kehidupan sehari-hari kita dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu perilaku etis yaitu perilaku yang diharapkan oleh masyarakat dan perilaku yang tidak etis yaitu perilaku yang tidak disukai oleh orang lain.

Perilaku Etis adalah perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial, agama dan lainya yang diterima secara umum sehubungan dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat dan yang membahayakan. Contoh tindakan etis adalah menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, tolong- menolong.

Perilaku Tidak Etis
Adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nor-norma sosial, agama ,dan lainya yang diterima secara umum sehubungan dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat dan yang membahahayakan. Contoh perilaku yang tidak etis adalah menyepelekan orang lain, tidak peduli dengan orang lain, tidak mengikuti peraturan yang berlaku, dlln.

Tanggung jawab sosial adalah termasuk kedalam perilaku yang etis dalam kehidupan sosial. Biasanya tanggung jawab sosial yang sering dilakukan seseorang adalah seperti :

1.      Sikap Obstruktif,
Pendekatan terhadap tanggungjawab sosial yang melibatkan tindakan seminimal mungkin dan mungkin melibatkan usaha-usaha menolak atau menutupi pelanggaran yang dilakukan individu.

2.      Sikap Defensif,
Pendekatan tangungjawab sosial yang ditandai dengan personal, hanya memenuhi persyaratan aturan atau hukum secara minimum atas komitmennya terhadap kolompok dan individu dalam lingkungan sosialnya.

3. Sikap Akomodatif,
Pendekatan tangungjawab sosial yang diterapkan seseorang dengan melakukannya, apabila diminta melebihi persyaratan aturan atau hukum minum, dalam komitmennya terhadap kelompok dan individu dalam lingkungan sosialnya.

      4. Sikap Proaktif,
Pendekatan Tanggungjawab sosial yang diterapkan seseorang, dengan secara aktif mencari peluang untuk menyumbangkan demi kesejahteraan kelompok atau individu dalam lingkungan sosialnya.

2.3    Profesionalisme kerja

Profesionalisme berasal dan kata profesional yang mempunyai makna yaitu berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994).
Merupakan suatu tingkah laku, suatu tujuan atau suatu rangkaian kwalitas yang menandai atau melukiskan coraknya suatu “Profesi”. Profesionalisme kerja mengandung pula pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber kehidupan. Dan juga sering disebut sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain lain) atau tingkah laku, kepakaran dan kualiti dari seseorang yang professional. Sedangkan menurut Drs.Kuntjojo Profesionalisme kerja adalah komitmen para professional terhadap profesinya. Komitmen tersebut ditunjukan dengan kebanggaan dirinya sebagai tenaga professional, usaha terus-menerus untuk mengembangkan kemampuan profesinya.

Tiga watak kerja seorang Profesional:
1.      Kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil.
2.       Kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh  kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat.
3.      Kerja seorang professional diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral   harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi



BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Perbedaan Gender Terhadap Prilaku Etis dan Profesionalisme Kerja

Kesadaran akan pentingnya sumber daya manusia dapat mendorong perusahaan untuk menanamkan norma, perilaku, nilai-nilai dan keyakinan yang dapat dijadikan sarana untuk mencapai kepuasan kerja. Kepuasan kerja berhubungan dengan atribut pekerjaan yang dijalani oleh suatu profesi. Atribut pekerjaan merupakan suatu proses kegiatan yang dapat menimbulkan kepuasan kerja bagi karyawan. Profesi akuntansi sebagai salah satu bentuk pekerjaan yang juga memperhatikan unsur kepuasan kerja secara profesional atas pekerjaan yang mereka lakukan. Persepsian tentang atribut kerja dapat dipengaruhi oleh usia dan gender, seperti fenomena yang dikemukakan oleh beberapa penelitian yang mengatakan bahwa terjadinya perbedaan pengakuan tentang harapan dan konsep antar gender (Brush et al., 1987; Witt and Nye, 1992).

Perubahan lingkungan kerja dan konsep tentang gender itu sendiri mendorong dan menyebabkan terjadinya perubahan perhatian pada dunia kerja. Fakih (1996: 8) menyatakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Gender merujuk pada pembedaan-pembedaan dan relasi-relasi sosial antara anak perempuan dan anak laki-laki, perempuan dan laki-laki dewasa yang dipelajari dan sangat bervariasi di dalam dan antar budaya, serta berubah dari waktu ke waktu (Haspels dan Suriyasarn, 2005). Ketidakadilan kesetaraan gender dalam masyarakat dapat dilihat dari sejumlah indikator yakni: marginalisasi perempuan; subordinasi; pandangan stereotipe; kekerasan (violence) dan beban kerja ganda (Subiyantoro, 2005). Kesenjangan di bidang ini terlihat dari tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Data BPS tentang Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002 menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%. Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%. (Subiyantoro, 2005).

Penelitian yang mengkaji tentang gender dan atribut pekerjaan dalam profesi akuntansi telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Wright dan Hamilton (1978) menyatakan bahwa atribut pekerjaan terkait dengan usia. Karyawan yang berusia muda mempunyai peluang lebih besar untuk memperoleh promosi atau mengembangkan dirinya daripada karyawan yang sudah tua dalam organisasi. Beutel dan Marini (1995) menunjukkan pentingnya pemilihan karyawan yang disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan berdasarkan gender. Secara umum karyawan akan memperhatikan faktor gaji dan kesempatan untuk mengembangkan diri dalam perusahaan, namun karyawan perempuan lebih senang apabila mendapat penghargaan pada dirinya, mencapai kepuasan kerja dan dapat menjaga hubungan yang baik dengan teman kerja (Beutel dan Marini, 1995). Perbedaan ini membuat karyawan perempuan memiliki motivasi untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi.

Kondisi seperti inilah yang menjadi perhatian banyak perusahaan akhirakhir ini bahkan perhatian banyak perusahaan saat ini sampai pada pemberian kompensasi atau pesangon bagi karyawan. Perhatian terhadap pemberian kompensasi tersebut didasarkan pada prestasi kerja yang dilakukan karyawan (Helyar, 2005). Terjadinya diskriminasi terhadap usia karyawan menyebabkan diberlakukannya larangan diskriminasi pada perusahaan yang memiliki tenaga kerja. Diskriminasi gender diartikan sebagai setiap pembedaan, pengeluaran (exclusion), atau preferensi berdasarkan pada gender, gender (atau penggolongan lain yang ada di masyarakat seperti etnis, warna, agama, atau opini politik), yang berakibat pada peniadaan atau pengurangan kesetaraan kesempatan dan perlakuan (Haspels dan Suriyasarn, 2005). Selanjutnya Haspels dan Suriyasarn (2005) menyatakan bahwa ada dua jenis diskriminasi gender yaitu diskriminasi langsung dan tidak langsung.

Diskriminasi langsung pada umumnya disengaja dan eksplisit, atau bahkan kadang-kadang diskriminasi langsung ditemukan secara eksplisit dalam hukum. Sebagai contoh perempuan tidak dapat secara sah memiliki harta seperti bangunan atau tanah, perempuan yang menikah tidak dapat menandatangani dokumen legal, batas umur pensiun bagi laki-laki dan perempuan berbeda, dll (Haspels dan Suriyasarn, 2005). Diskriminasi tidak langsung merujuk pada situasi, peraturan, atau praktek yang kelihatannya netral tetapi pada kenyataannya membawa akibat adanya perlakuanyang berbeda bagi sebagian orang (Haspels dan Suriyasarn, 2005). Sebagai contohbperusahaan-perusahaan lebih senang merekrut laki-laki dibandingkan dengan perempuan usia mengasuh anak, sebab mereka memperhitungkan bahwa perempuan tersebut akan lebih  sering tidak masuk kerja karena kehamilan atau urusan keluarga. Diskriminasi gender pada profesi akuntansi di banyak perusahaan telah banyak diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh Hardin et al. (2002) menyatakan bahwa dengan bertambahnya banyak karyawan perempuan yang bekerja pada perusahaan mengakibatkan adanya diskriminasi terhadap karyawan perempuan yang menerima gaji lebih rendah daripada karyawan laki-laki, walaupun keduanya samasama melaksanakan pekerjaan dengan baik, memiliki ketrampilan yang sama dan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pekerjaan. Diskriminasi tersebut terjadi karena laki-laki dianggap lebih mampu untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih besar dalam perusahaan.

Diskriminasi gender tidak hanya terjadi pada segi kemampuan saja, melainkan dari segi gaji atau kesejahteraan juga terjadi diskriminasi. Haspels dan Suriyasarn (2005) menyebutkan bahwa rata-rata perempuan berpenghasilan 2/3 dari penghasilan laki-laki di semua jenis pekerjaan dan perempuan masih berpenghasilan rendah dari laki-laki di semua tingkat pendidikan. Hanya sebagian saja dari kesenjangan dalam penghasilan ini yang dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam hal tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang berarti bahwa diskriminasi gender dalam menerima upah yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama masih tersebar luas.



BAB IV
 KESIMPULAN

4.1  Kesimpulan

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan gender terhadap prilaku etis dan profesionalisme kerja mempunyai keterkaitan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis ada tidaknya perbedaan gender terhadap perilaku etis, dan profesionalisme. Penulis menyimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan perilaku etis antara pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa setiap pekerja harus tetap memiliki perilaku etis yang sama dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kode etik. Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan orientasi etis antara pria dan wanita. Hal ini dikarenakan gender dapat mempengaruhi seorang untuk sadar dalam menentukan sikap yang tepat jika menghadapi suatu dilema etis. Gender juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis, baik ketika menilai tindakan yang dilakukan orang lain maupun ketika berhadapan sendiri dengan dilema etis. Simpulan lain yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan profesionalisme antara auditor pria dan wanita. Simpulan ini menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki peluang yang sama sebagai seorang dengan tanggung jawab dan prestasi yang juga sama. Hal ini berarti berbagai sifat dan karakter masing– masing tidak mempengaruhi sikap professional mereka dalam bekerja. Sikap profesional itulah yang akan membuat kinerja dapat dipercaya oleh masyarakat. Oleh karena itu, setiap pekerja baik pria mupun wanita, harus menunjukkan perilaku etis, dan sikap profesionalisme yang sama dalam bekerja.








DAFTAR PUSTAKA

Herawati, N., Zuhdi, R., Sari, R. S. N. (2010). Tafsir
Perilaku Etis Menurut Mahasiswa Akuntansi Berbasis
Gender. Simposium Nasional Akuntansi VIII, 1 – 24.

Jamilah, S., Fanani, Zaenal dan Chandrarin, Grahita.
(2007). Pengaruh Gender, Tekanan Ketaatan dan
Kompleksitas Tugas terhadap Audit Judgment.
Simposium Nasional Akuntansi X, 1 – 30.

Nugrahaningsih, Putri. (2005). Analisis Perbedaan
Perilaku Etis Auditor di KAP dalam Etika Profesi
(Studi terhadap Prean Faktor-faktor Individual : Locus
of Control, Lama Pengalaman Kerja, Gender dan
Equity Sensitivity).